Rabu, 22 April 2009

RATING FILM




Ketika kita menonton TV , apakah kita menyadari berapa besar peminat, jumlah pemirsa, serta perbandingan antara acara TV yang satu dengan yang lain. Ada beberapa cara bagaiman kita mengetahui jumlah audience dalam suatu acara dan televisi.
RATING
Rating adalah besarnya presentase rumah tangga pemilik TV yang menonton acara tertentu dari pemilik TV di daerah tertentu.
Rumus:
Rating (%)= Audience : Universe x 100%
Contoh:
Pemilik TV (univers): 2800 rumah tangga
Yang menonton program “a” (audience) = 500 rt
Yang menonton program “b” (audience) = 300 rt

Rating program “a” =
500:2800x100%= 17,86 = 18
Jadi rating program ”a” adalah 18, karena 17,86 di bulatkan menjadi 18.
Rating program “b” =
300:2800x100%= 10,71=11
Jadi rating program “b” adalah 11, karena 10,71 di bulatkan menjadi 11.
Begitulah cara menghitung rating program TV.

Penghitungan Rating ini menggunakan cara dengan mengambil sample dari beberapa rumah tangga di Daerah tertentu. Dan dari jumlah sample tersebut akan di ketahui berapa banyak keluarga yang menyalakan TV dan berapa banyak jumlah program yang di saksikan keluaraga yang menjadi sample.

Senin, 20 April 2009

MEMPERCANTIK FOTO



MENGEDIT FOTO

1. Siapkan gambar anda.
2. pilih image – adjust – Brightness/Contras, untuk mengedit gelap terang dan kontrasnya.
3. Pilih Image – adjust – Hue/Saturation, untuk mengatur warna
Geserlah segitiga pada boks dialog tersebut

FOTO BARU JADI KUNO

1. Siapkan gambar anda.
2. Pilih Image – adjust – Hue/Saturation.
3. Centanglah tulisan Colorize,
Geserlah segitiga pada boks dialog tersebut

MEWARNAI FOTO DENGAN CEPAT.

1. Bukalah gambar yang akan anda warnai.
2. Jika anda menginginkan sebagian saja diberi warna buatlah seleksi dengan menggunakan seleksi tool.
3. Pilih Image – adjust – Variation.
4. Anda tinggal memilih warnanya. Apabila anda kurang cocok dengan warnanya Click Original yang berisi gambar aslinya.
5. Click Lighter untuk menambah warna terang.
6. Click Darken untuk menambah warna gelap.

MEMBERI EFEK POSTER.

1. Bukalah gambar yang akan diberi efek poster.
2. Pilih Image-adjust-Treshold.
3. Aturlah hasilnya dengan menggeser segitiga pada boks dialog.

MEMBERI EFEK GAMBAR TV

1. Bukalah gambar yang akan diberi efek gambar TV.
2. Tambahkan layer baru. Isilah dengan warna putih.
3. Click filter-sketch-Haltone pattren
4. Atur besar garis dengan menggeser segitiga pada Size dan Contrast.
5. Untuk patren Type pilih Line.
6. Click OK
7. Atur Opasitinya.

Minggu, 19 April 2009

Film Yang Mana?


Pernahkah kita berfikir? tentang apa yang kita saksikan di layar televisi akhir-akhir ini. Ya... Banyak sekali film-film yang kurang mendidik, dan sedikit film yang saya rasa mendidik. Meskipun itu ada, itu hanya sedikit dan masih kalah dari film-film komedi dan horor yang ditayangkan di bioskop.
Abilah contoh Film Gie, Denias, Laskar Pelangi. Hanya sebatas itukah film yang mendidik? sedangkan Film HOROR, film KOMEDI, dan film-film yang menjurus ke arah yang tidak mendidik malah menjadi film favorit di kalangan penikmat film.
Kita lihat film-film HOROR. Apakah memang sudah benar-benar horor. Bagi saya yang menakutkan bukanlah hantu yang ada di dalam film tersebut. Tapi malah adegan-adegan syur di dalam film tersebut. Apalagi film komedi, Mulai zaman warkop DKI hingga kini film-film komedi kebanyakan hanya menonjolkan adegan syur yang di rangkai sedemikian rupa hingga membuat penonton tertawa.
Kalau film tersebut di saksikan oleh anak kecil. Siapakah yang harus disalahkan? pembuat film, penonton, atau distributornya.
Memang sudah ada lembaga sensor yang di tugaskan mengawasi peredaran. Namun namanya juga manusia, pasti ada saja yang kecolongan (terlewatkan). Ada-ada saja yang terjadi di dunia perfilman kita.
Tak hanya film. bahkan acara-acara televisi sudah banyak yang kurang mendidik. Apakah yang dicari sekarang ini hanya keuntungan belaka? tanpa memperhatikan efek yang terjadi pada penonton yang menyaksikan. Lalu film yang mana yang MANA yang baik untuk kita konsumsi?

Sabtu, 18 April 2009

Dokumenter


Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah "dokumenter" pertama digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.
Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
Dokumenter Modern
Para analis Box Office telah mencatat bahwa genre film ini telah menjadi semakin sukses di bioskop-bioskop melalui film-film seperti Super Size Me, March of the Penguins dan An Inconvenient Truth. Bila dibandingkan dengan film-film naratif dramatik, film dokumenter biasanya dibuat dengan anggaran yang jauh lebih murah. Hal ini cukup menarik bagi perusahaan-perusahaan film sebab hanya dengan rilis bioskop yang terbatas dapat menghasilkan laba yang cukup besar.
Perkembangan film dokumenter cukup pesat semenjak era cinema verité. Film-film termasyhur seperti The Thin Blue Line karya Errol Morris stylized re-enactments, dan karya Michael Moore: Roger & Me menempatkan kontrol sutradara yang jauh lebih interpretatif. Pada kenyataannya, sukses komersial dari dokumenter-dokumenter tersebut barangkali disebabkan oleh pergeseran gaya naratif dalam dokumenter. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah film seperti ini dapat benar-benar disebut sebagai film dokumenter; kritikus kadang menyebut film-film semacam ini sebagai mondo films atau docu-ganda.[1] Bagaimanapun juga, manipulasi penyutradaraan pada subyek-subyek dokumenter telah ada sejak era Flaherty, dan menjadi semacam endemik pada genrenya.
Kesuksesan mutakhir pada genre dokumenter, dan kemunculannya pada keping-keping DVD, telah membuat film dokumenter menangguk keuntungan finansial meski tanpa rilis di bioskop. Meski begitu pendanaan film dokumenter tetap eksklusif, dan sepanjang dasawarsa lalu telah muncul peluang-peluang eksibisi terbesar dari pasar penyiaran. Ini yang membuat para sineas dokumenter tertarik untuk mempertahankan gaya mereka, dan turut mempengaruhi para pengusaha penyiaran yang telah menjadi donatur terbesar mereka.[2]
Dokumenter modern saling tumpang tindih dengan program-program televisi, dengan kemunculan reality show yang sering dianggap sebagai dokumenter namun pada kenyataannya kerap merupakan kisah-kisah fiktif. Juga bermunculan produksi dokumenter the making-of yang menyajikan proses produksi suatu Film atau video game. Dokumenter yang dibuat dengan tujuan promosi ini lebih dekat kepada iklan daripada dokumenter klasik.
Kamera video digital modern yang ringan dan editing terkomputerisasi telah memberi sumbangan besar pada para sineas dokumenter, sebanding dengan murahnya harga peralatan. Film pertama yang dibuat dengan berbagai kemudahan fasilitas ini adalah dokumenter karya Martin Kunert dan Eric Manes: Voices of Iraq, dimana 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq sepanjang perang dan dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri.
Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Film_dokumenter

Luluskah Aku....


Entah apa yang diharapkan dari ujian nasional. Apakah untuk mencari tunas bangsa yang unggul, atau hanya untuk formalitas saja. Tak sedikit siswa SD, SMP, dan SMA yang malah terbebani karena Ujian Nasional. Dari apa yang saya alami, Ujian hanya untuk mencari nama dan menjaga gengsi antar sekolah.
Berapa kali sudahkah kita mendengar anak yang bunuh diri gara-gara tidak lulus, anak yang merasa terkucil dari teman-temanya yang sedang bahagia karena lulus. Bahkan ada di sekolah-sekolah daerah yang malah menghancurkan tempat belajar-nya selama tiga tahun. Itu hanya disebabkan mereka tidak lulus.
Bahkan ada yang merasa tidak adil, karena jeripayah, baik fisik maupun finansial terkuras selama 3 tahun hanya dibayar dengan empat hari yang menentukan. Apakah lulus, atau tidak.
Dan fakta yang saya temukan adalah antara pengawas dan sekolah sengaja bersekongkol, agar siswa dapat lulus semua. Apakah ini yang diharapkan dari ujian nasional. Jika hanya begitu, mengapa para siswa harus membayar dengan harga yang cukup mahal untuk mengikuti ujian. Dan banyak sekali orang tua murid yang sengaja berhutang agar anaknya mengikuti ujian. Bagus jika jeripayah ber-hutang itu dibayar dengan sebuah ke-lulusan, namun jika tidak lulus. Bisa-kah kita membayangkan?
Jika kita berada di posisi tersebut, apa yang akan kita rasakan. Sore ini tak sengaja saya membaca koran. Seorang ibu menangis di sekolahan anaknya. Hanya karena biaya Rp. 485.000 yang tak mampu di bayarkan. Sukakah kita dengan kisah seperti itu?
Sekarang tinggal melihat, bagaimana pelaksanaan ujian tahun ini? Apak sukses seperti yang kita harapkan? Atau malah membuat miris hati kita.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host